TPA di Indonesia yang Terancam Penuh

Hibeyu
5 min readJun 12, 2021

--

Menurut Undang-undang No 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah, Tempat pemrosesan akhir (TPA) adalah tempat untuk memproses dan mengembalikan sampah ke media lingkungan secara aman bagi manusia dan lingkungan. Meningkatnya pertumbuhan jumlah penduduk di Indonesia berdampak pada bertambahnya volume timbulan sampah yang diangkut ke TPA. Hal ini juga didukung dengan pola hidup masyarakat yang semakin konsumtif dan penggunaan barang sekali pakai yang kurang bertanggung jawab.

Gambar 1 Kondisi TPA Cipayung yang Penuh (Harian Sederhana, 2020)

Menurut data KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) rata-rata masyarakat Indonesia menghasilkan 0,84 kg sampah per orang dalam satu hari. Bila diakumulasikan pada tahun 2020 sampah yang dihasilkan mencapai 67,5 juta ton. Tingginya jumlah timbulan sampah menyebabkan pemerintah maupun masyarakat mengalami kesulitan dalam mengelolanya. Saat ini pengelolaan sampah di Indonesia berjalan dengan persentase 60% ditimbun di TPA, 10% didaur ulang, dan 30% lainnya tidak terkelola. Jumlah sampah yang terus bertambah dan tidak terkontrol menyebabkan sebagian besar TPA kapasitasnya sudah penuh sebelum tahun perancangannya berakhir. Sehingga pemerintah perlu menyiapkan site TPA sebelum sampah tidak terkelola dan menyebabkan berbagai masalah lain. Beberapa data TPA di Indonesia yang terancam penuh dapat di daftar berikut ini:

  1. TPA Sarimukti, Cipatat, Jawa Barat

2. TPA Maros, Maros, Sulawesi Selatan

3. TPA Bestari, Probolinggo, Jawa Timur

4. TPA Sumompo, Manado, Sulawesi Utara

5. TPA Panembong, Subang, Jawa Timur

6. TPA Antang, Makassar, Sulawesi Sselatan

7. TPA Suwung, Bali

8. TPA Paku, Binuang, Kalimantan Selatan

9. TPA Kotamobagu, Kotamobagu, Sulawesi Utara

10. TPA Cipeucang, Serpong, Tangerang Selatan

11. TPA Blandongan, Pasuruan, Jawa Timur

12. TPA Rawa Kucing, Tangerang, Banten

13. TPA Sukawinatan, Palembang, Sumatera Selatan

14. TPA Bukit Pinang, Samarinda, Kalimantan Timur

15. TPA Cilowong, Serang, Banten

Di Indonesia TPA menjadi tahapan akhir dalam pengelolaan sampah dengan cara ditimbun ke dalam tanah urug atau yang dikenal dengan Landfill. Sedangkan yang dimaksud dengan metode landfilling adalah cara mengurug sampah ke dalam tanah dengan menyebarkan sampah dan tanah penutup secara berlapis-lapis pada sebuah site (lahan) yang telah disiapkan, kemudian dilakukan pemadatan dengan alat berat, dan pada akhir hari operasi, urugan sampah tersebut kemudian ditutup dengan tanah penutup dan bisa dimanfaatkan kembali. Ada tiga jenis tipe landfill, yaitu Sanitary Landfill, Controlled Landfill, dan Open Dumping.

Metode pengurugan sampah banyak digunakan karena operasionalnya yang praktis dan kebutuhan biaya yang lebih murah dibandingkan teknologi lainnya. Sayangnya praktik pengurugan sampah di Indonesia masih didominasi dengan tipe Open Dumping, yaitu penumpukan sampah begitu saja secara terus menerus tanpa adanya pelapisan tanah penutup dan pemantauan dampak lingkungan di daerah sekitarnya. Hal ini menyebabkan banyak dampak negatif yang terjadi mulai dari pencemaran udara akibat produksi gas metana dari proses anaerobik pada sampah dan karbondioksida dari kendaraan pengangkut, pencemaran tanah dan air tanah akibat rembesan air lindi, hingga kenyamanan masyarakat sekitar akibat bau menyengat dan sumber penyakit yang ditimbulkan.

Pemerintah sudah melakukan beberapa perancangan Sanitary Landfill, namun dalam operasionalnya selalu terhambat sehingga pengelolaan sampah terbengkalai dan kembali berjalan dengan tipe Open Dumping. Permasalahan operasional yang sering ditemukan adalah operator lapangan kurang memahami SOP kerja yang berlaku. Padahal pemahaman yang kurang tersebut dapat menjadi awal dari permasalahan besar. Contohnya karena tidak paham fungsi pipa gas metana, banyak operator TPA yang tidak menyambungkannya secara rutin. Hal ini menyebabkan gas metana terkumpul di dalam tumpukan sampah dan berpotensi menimbulkan insiden kebakaran maupun longsor. Selain itu Open Dumping juga membutuhkan biaya yang cukup besar untuk operasional alat berat dan kebutuhan pengolahan air lindi dan gas metana. Sedangkan persentase biaya pengelolaan sampah yang direncanakan dalam APBD rata-rata hanya sekitar 3–4%, bahkan dalam praktiknya selalu kurang dari nilai tersebut. Sehingga banyak Sanitary Landfill yang terpaksa harus menghentikan operasionalnya karena kekurangan dana.

Beberapa komponen yang seharusnya dimiliki oleh Landfill yang ideal yaitu Sanitary Landfill adalah sebagai berikut:

  1. Pelapisan sampah dengan tanah penutup setiap hari untuk menghindari timbulnya bau, sarang lalat, dan mengurangi air hujan yang dapat merembes menjadi air lindi.
  2. Membran penutup di dasar lahan urug untuk memastikan air lindih tidak merembes ke tanah dan mencemari air tanah di sekitar.
  3. Pengendalian lindi yang terbentuk dari proses dekomposisi sampah tidak mencemari tanah, air tanah maupun badan air yang ada.
  4. Pengendalian gas dan bau hasil dekomposisi sampah, agar tidak mencemari udara, menyebabkan kebakaran atau bahaya asap dan menyebabkan efek rumah kaca.
  5. Pengendalian vektor penyakit.
Gambar 2 Contoh Rancangan Sanitary Landfill (Slideplayer.com, 2021)

Berdasarkan Sustainable Development Goals, Indonesia menargetkan ketercapaian 100% pengelolaan sampah pada tahun 2030 dengan persentase 30% pengurangan dan 70% pengolahan. Namun menurut data SIPSN pada tahun 2020 capaian kinerja pengelolaan sampah adalah sebesar 15,88% untuk pengurangan dan 37,09% untuk penanganan sampah. Masih ada 47,03% sampah yang belum terkelola dan berpotensi menyebabkan permasalahan lingkungan. Untuk mencegah hal itu terjadi maka perlu adanya sinergi yang dilakukan antara pemerintah dan masyarakat. Berdasarkan piramida pengelolaan sampah terdapat empat tahapan yang bisa dilakukan sebelum sampah akhirnya berakhir ditimbun, yaitu Pengurangan, Penggunaan kembali, Daur Ulang, dan Pemulihan Energi. Sebagai pribadi yang peduli terhadap lingkungan kita perlu melakukan penanganan sampah dari sumber Bersama-sama untuk mengurangi beban timbulan sampah yang ditampung ke TPA. Dengan hal ini diharapkan operasional TPA dapat berjalan sesuai dengan waktu perancangannya dan tidak memberikan dampak buruk terhadap lingkungan sekitar.

Gambar 3 Hirarki Pengelolaan sampah (Waste4change.com, 2020)

Sebagai salah satu organisasi yang bergerak dalam bidang sanitasi, Hibeyu sangat mendukung pengelolaan sampah dari sumber untuk mewujudkan pola hidup yang berkelanjutan. Kami secara aktif memberikan informasi digital terkait manajemen sampah melalui platform social media yang kami miliki. Dengan upaya tersebut diharapkan masyarakat semakin sadar tentang pentingnya pengelolaan sampah dan dampak yang akan ditimbulkan apabila permasalahan sampah di Indonesia terus diabaikan.

Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai Hi.Beyu, kunjungi website kami di linktr.ee/Hi.beyu, atau akses company profile kami, atau di media sosial kami di sini: Instagram, LinkedIn.

Referensi:

Bahagijo, Miriam. 2019. Indonesia’s Waste Emergency: Indonesia’s Landfills are on the Verge of Overcapacity. (https://waste4change.com/blog/indonesias-waste-emergency-indonesias-landfills-are-on-the-verge-of-overcapacity/2/, diakses: 5 Juni 2021)

Capaian Kinerja Pengelolaan Sampah. 2021. (sipsn.menlhk.go.id/sipsn, diakses: 7 Juni 2021)

Damanhuri, Enri; dan Padmi, Tri.2011.Diktat Kuliah TL-3104 Pengelolaan Sampah.Institut Teknologi Bandung. Versi 2011.

Republik Indonesia. 2008. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Republik Indonesia. 2013. Lampiran III Permen PU No 03/PRT/M/2013. Jakarta. Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia.

--

--

Hibeyu
Hibeyu

Written by Hibeyu

A growing youth community that creates a global movement to solve existing problems related to poor and inequality of urban sanitation practices.

No responses yet